Thursday 19 February 2009

Human Trafficking

Perdagangan anak. Tentu kata itu sudah tidak asing lagi di telinga. Akhir-akhir ini marak terjadi tindakan penjualan anak-anak untuk dipekerjakan pada situasi buruk. Sungguh ironi ketika anak dinilai sebagai aset dan penerus bangsa, tetapi diperlakukan seperti barang yang tak ada harganya. Hal inilah yang mendorong banyak LSM atau organisasi tertentu untuk melakukan kampanye anti perdagangan anak. Berbicara tentang perdagangan anak, tentu ada penyebab yang memicunya. Berkaitan dengan hal ini, Saefulah Zakaria, salah satu dosen Antropolgi Unpad mengatakan, penyebab paling utama pada kasus tersebut adalah pesoalan ekonomi atau kemiskinan. “Permasalahan ekonomi membuat kecenderungan orang berbuat singkat. Tapi itu juga tergantung mental, ada juga orang miskin tapi ‘gak sampe jual anak,” ujarnya. Hal senada dikatakan oleh Goenawan Moehamad, salah satu penulis. Menurutnya, trafficking child disebabkan oleh permasalahan ekonomi yang masih lemah. “Perdagangan anak juga dipicu oleh terlalu banyak anak atau karena ada peningkatan angka kelahiran. Sehingga anak menjadi murah atau adanya inflasi anak,”katanya.
Penjualan anak merupakan bentuk terburuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini jelas akan membahayakan keselamatan dan masa depannya, karena mereka rentan untuk dimanfaatkan, diperkerjakan, dan diekploitasi. Catatan Komnas Perlindungan Anak, hingga akhir tahun 2004 menyebutkan bahwa kasus-kasus traffiking dengan berbagai bentuk banyak terjadi di Indonesia. Sebanyak 6,5 juta anak usia 10 sampai 14 tahun terpaksa bekerja pada situasi buruk diberbagai sektor seperti perindustrian, perkebunan, pertanian, perikanan, jalanan, pembuangan sampah, dan pertambangan. Jumlah itu termasuk 1,5 juta anak yang terpaksa bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Jumlah ini naik sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, khususnya untuk pekerja anak sebagai pembantu rumah tangga, jumlahnya terus mengalami kenaikan dari 310.378 anak pada tahun 1999 menjadi 600.000 anak pada tahun 2001

Setelah kita pahami betapa maraknya kasus perdagangan anak di Indonesia, kini saatnya kita mencari solusi apa yang tepat untuk menekan kasus tersebut. Berbagai cara tentu sudah sering dilakukan oleh para pihak terkait. Misalnya dengan didirikannya berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat-Red) yang memberikan advokasi di berbagai kasus tentang anak.
Menurut Eti, Ketua LSM JARI (Jaringan Relawan Independen), hal yang harus dilakukan kepada masyarakat mengenai trafficking child adalah dengan memberikan sosialisasi yang gencar tentang trafficking, hal itu dilakukan agar masyarakat diberi pengetahuan yang lebih jelas dan lengkap mengenai tand-tanda dan gejala pada masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah,” tuturnya.
Memang penyuluhan mengenai trafficking child ini sering dilakukan meskipun belum menyentuh ranah masyarakat rendah, hanya saja karena pemahaman yang kurang merata sehingga membuat korban terpedaya oleh perbuatan ilegal tersebut. Saefulah Zakaria berpendapat,
“semua orang harus terlibat. Orang tua dan masyarakat harus sering diberikan penyuluhan. Semuanya juga harus berjalan dengan baik, yang terpenting adalah penyadaran. Kemudian harus ada tindakan keras bagi pelakunya,” tutur Saefulah, yang juga Pembantu Ketua III Program Ekstensi FISIP Unpad. Masih menurut Saefulah, untuk menangani kasus trafficking child, dibutuhkannya media. “Media TV merupakan proses pembelajaran yang paling cepat, selain itu harus adanya penguatan sisi keluarga lewat pendidikan di kelurga si anak tersebut,” ujarnya. Masih menurut Saeful, selain lewat media dan keluarga, lingkungan juga harus mendukung dan saling menjaga atau saling menyadarkan.
Nampak miris ketika calon penerus bangsa hilang kepercayaan diri yang berlebihan akibat tindakan perdagangan anak, hanya karena faktor ekonomi yang tak seharusnya ditanggung oleh mereka. Menurut Sunggoro, salah satu dosen Psikologi Unpad, anak yang menjadi korban sudah pasti mer
asa kehilangan, dengan kata lain secara psikologis ia sudah tidak memiliki arti lagi. “Kalo anak-anak pasti mengalami luka psikologis, mereka merasa tidak punya arti, seolah hak hidupnya jadi lain. Luka itu mungkin juga tidak sembuh. Dia merasa bukan jadi orang yang utuh lagi, karena sudah tidak punya pilihan,” ujarnya.
Menurut Distia Aviandari, Direktur Eksekutif LAHA (Lembaga Advokasi Hak Anak) mengatakan, solusi yang harus dilakukan
yaitu di tingkat negara. ”Karena memang trafficking itu kebanyakan korbannya dari kelompok marginal (miskin, bodoh-Red). Ini kan berkaitan dengan status ekonomi, negara seharusnya mengintervensi itu. Lalu di tingkat masyarakatnya juga harus lebih peka,” tegasnya.
Tak berbeda dengan pendapat di atas, Goenawan Moehamad mengatakan, solusi untuk menekan perdagangan anak di Indonesia harus dengan hukum yang ditegakkan. Selain itu, KB (keluarga berencana) harus kembali digalakan dan kondisi ekonomi di Indonesia pun harus diperbaiki atau ditingkatkan.(sumber : wawancara, observasi, dan beberapa data internet)

2 comments:

  1. nice artecle...

    KB ya solusinya? kan masih kontroversi juga??

    ReplyDelete
  2. nice artecle...

    KB ya solusinya? kan masih kontroversi juga??

    ReplyDelete

Apply ur commnet here..thanks