Sunday 16 December 2007

Blogger.....

dua hari lagi liburrr...sipppp...akHrnya aQ bisa puLang dan REbahan di pelukan aYah iBU...kangennn....

hampir dua bulan aQ dsni...berhadapan langsung dengan rutunitas yang ga pERnah habIs dimakan wKtu,,,,yah...itu seMua pastI tersaJi di Depan mata...aQ pun harUs setIa menemani langkaH kaki ini deMi lanCarnya Aktivitas itu...

mESki kadaNG lelah dan bosan...tapi aQ wajib setia pada aKtivitas ini...hehehehe...yaNg jelas sampai saat ini aQ masIh merasa nYaman siH...mudah2an raSa nYaman inio tetep aWet...

inTinya...aQ senaaaaaaaanngggg...sebNtar lagi mau pulaaaanggggg...horrrreeeeeee.....

Menggerus Stigma Negatif Terhadap Peredaran Kondom


Siapa yang tak mengenal kondom. Barang yang mirip balon dan berukuran mini ini sepertinya sudah tidak asing lagi di ranah masyarakat. Kecuali anak yang masih di bawah usia dewasa, tentunya masih belum mengerti fungsi dan kegunaannya. Kondom adalah suatu alat kontrasepsi yang bekerja dengan cara mencegah sperma bertemu dengan sel telur sehingga tidak terjadi pembuahan. Lewat promosi gencar yang dilakukan media massa, barang ini laku keras di pasaran. Hal ini semakin mempermudah masyarakat untuk mengenal fisik dan fungsi kondom. Ditambah lagi dengan berbagai terobosan baru dari produsen dengan menciptakan aneka rasa pada tiap lembarannya, sehingga lebih menarik minat masyarakat yang mengkonsumsinya

Himbauan penggunaan kondom bukan saja dilakukan oleh produsennya agar produk yang dihasilkan laku terjual, tapi pihak pemerintah melalui Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN ) pun selalu menggembar-gemborkan pada masyarakat untuk selalu menggunakan kondom tiap kali berhubungan seks. Tentunya ada alasan yang jelas, yakni untuk menghindari kehamilan tidak terencana dan untuk mencegah tertularnya HIV/AIDS. Fungsi utama dari alat tersebut cukup positif karena dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit kelamin yang dapat merugikan kesehatan manusia.

Namun sangat disayangkan ketika pemahaman masyarakat terhadap fungsi kondom masih dinilai rendah. Stigma negatif masih melekat pada kondom ketika alat tersebut beredar bebas di pasaran. Ada beberapa pendapat yang menilai jika kondom disediakan di supermarket dengan harga yang cukup murah, akan menggenjot jumlah perilaku seks bebas di kalangan anak muda yang belum sah menjadi pasangan suami istri secara hukum dan agama. Sepertinya itu hanyalah paradigma lama yang masih bisa diubah. Toh dengan beredarnya kondom di supermarket bukan berarti itu menghalalkan adanya seks bebas dan akan meningkatkan jumlah penyimpangan moral. Karena dengan diedarkannya alat kontrasepsi seperti kondom merupakan pencegahan dini bagi penularan virus HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ditemukan obat penawarnya. Jika berbicara moral, bukan berarti kondom yang dijadikan kambing hitamnya (objek kesalahan), karena moral tentunya ada di tiap nurani manusia, tinggal bagaimana manusia tersebut menggali potensi nurani yang dimilikinya.

Kurangnya tingkat kesadaran dan pemahaman mengenai fungsi alat tersebut, menimbulkan jumlah aborsi yang terus meningkat. Oleh karena itu, penyuluhan tentang pentingnya kondom harus lebih ditingkatkan agar stigma buruk yang melekat pada kondom bisa diluruskan. Pengikisan stigma negatif tentang peredaran kondom pun tidak bisa dilakukan parsial, tapi harus secara keselurahan dan berkelanjutan.

Hal itu dimaksudakan agar pemahaman mengenai pemakaian kondom bisa dimiliki tanpa ada keraguan yang tak beralasan dari masyarakat. Penyuluhan tentang kondom pun bisa dikatakan sebagai salah satu program pendidikan seks, dimana masyarakat diberikan perluasan wacana baru yang berhubungan dengan pencegahan praktek aborsi yang sifatnya ilegal.Semakin rutin pemerintah memberikan penyuluhan, maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran dari pihak masyarakat, dan stigma negatif mengenai penggunaan kondom pun bisa terkikis

Friday 14 December 2007

ada ide baru.....

yups....semua tentang ide

semua tentang apa yang ada di kepala...

semua.................

Resensi "Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial"

Membahas tentang gender memang tak pernah ada habisnya. Banyak kaum kartini yang tidak ingin direndahkan keduduknnya oleh para kaum lelaki. Diskusi dan perdebatan mengenai persamaan gender selalu mewarnai kehidupan para perempuan yang menganggap kaumnya itu sama dengan laki-laki. Kesamaan yang dimaksudkan adalah kesamaan dalam kekuatan, pemikiran dan keinginan kaum perempuan untuk mempunyai peran serta dalam kehidupan yang nyata, hanya kelamin saja yang membedakan diantara keduanya. Dalam kehidupan sehari-hari, peran kaum perempuan dinilai masih sangat kurang mengingat ada kendala utama yakni kaum laki-laki yang lebih mendominasi di segala sektor kehidupan dan memandang kaum perempuan sebagai kaum yang lemah yang tidak bisa disamakan statusnya dengan kaum laki-laki. Selain itu, terlebih lagi budaya patriarkhi yang sudah mengakar dan menjadi dominan dalam kehidupan nyata. Bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga pun, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat.

Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang yang tidak bermanfaat dan terbelenggu pada ketergantungan terhadap kaum lelaki. Doktrin-doktrin yang secara turun temurun telah tertanam sangat alot mempersepsikan bahwa perempuan adalah orang kelas dua yang seharusnya di rumah dan dininabobokan serta dibekukan oleh sifat yang cenderung konsumerisme dan hedonisme.

Dalam bukunya yang berjudul “Kaum Perempuan Dan Ketidakadilan Sosial“, Mahatma Gandhi mencoba menguak sisi kehidupan para perempun yang terinjak-injak harga diri serta martabatnya dihadapan kaum laki-laki. Dalam goresan-goresan tinta yang dituangkan dalam buku ini, Gandhi memaparkan secara gamblang tentang pemikirannya disekitar kaum perempuan dimana kedudukan, peran dan jasa perempuan hanya nol besar atau tanpa nilai, penidasan itu disertai dengan pembekuan peran serta kaum perempuan dalam menghadapi realita sosial oleh laki-laki di sekitarnya. Dalam dunia politik pun, kaum perempuan dianggap haram untuk memainkan perannya. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan karena patron membentuk perempuan sangat tendensius yakni mengutamakan perasaan sehingga jauh dari sikap rasionalitas. Persepsi negative tersebut dibantah oleh Gandhi yang notabene gigih membela kaum perempun yang selama ini terbelenggu pada budaya patriarkhi.

Selain itu, buku ini pun membongkar tentang konsep budaya patriarkhi yang telah menjustifikasi perempuan sebagai mahluk yang menciptakan mitos sangat luar biasa kuat. Gandhi menilai bahwa perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dalam mengatur kesejahteraan manusia sehingga masih ada kesempatan dan peluang yang cukup lebar bagi kaum perempuan untuk mengapresiasikan dan mengaktualisasikan peran dan kedudukannya di mata dunia khususnya di mata para kaum laki-laki.

Buku ini mempunyai beberapa keunggulan yakni penjelasan secara gamblang tentang kaum perempuan yang didominasi oleh kaum laki-laki serta penindasan yang dialaminya, gaya penulisannya pun mudah dibaca. Namun, tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan buku ini, masih terdapat kelemahan yakni tulisan-tulisannya yang dikemas dalam bentuk artikel membuat para pembaca menjadi bosan karena terlalu didominasi oleh opini-opini saja. Selamat membaca**