Thursday 19 February 2009

Edelweiss

Pagi ini cuaca amat berbeda dari biasanya, mungkin karena baru saja semalam hujan turun dengan deras sekali sehingga udara dingin masih menyelimuti udara pagi ini. Saat aku keluar kamar untuk mengucapkan selamat pagi pada kedua orang tua dan adikku, namun diruang tengah yang biasa dipakai untuk sarapan pagi oleh keluargaku terlihat sepi dan sunyi, kucoba tuk mencari mereka, di halaman depan dan paviliun samping rumah, namun tak kudapati satupun dari mereka, aku bingung dan kuputuskan untuk kembali ke kamar dan ku kembali merebahkan tubuhku yang kecil ini didalam selimut tebal pemberian almarhum kakekku. Udara dingin yang masuk dalam kamarku lewat celah jendela membuat ku betah terus berada dalam hangatnya dekapan selimut tebal itu, namun ketika ku ingin kembali memejamkan mata, terdengar suara ibu mengetuk pintu kamar ku. “vin..udah pagi nih, bangun dong kamu kan hari ini harus ikut ayah ke Bogor untuk menjemput nenek.” teriak ibu dari depan pintu. Aku pun membuka pintu dan langsung mengucapkan selamat pagi untuk ibuku tercinta. ”iya bu, Alvin tau hari ini Alvin harus temenin ayah, tapi Alvin mandi dulu ya. Oh iya tadi pagi pada kemana sih? Alvin cari-cari pada nggak ada?” tanyaku dengan nada yang manja. “oh tadi pagi, ayah dan ibu mengantar adikmu ke sekolah, ya udah sekarang kamu mandi dan siap-siap dulu ya. ”jelas ibu.

Hari ini memang aku sudah berjanji pada ayah untuk menemaninya ke Bogor untuk menjemput nenek yang baru saja datang dari Makassar. Awalnya aku bersemangat sekali untuk pergi ke Bogor, namun…tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak dan rasanya malas sekali untuk pergi. Tapi janji tetap janji dan aku harus menemani ayahku menjemput nenek. ”Yah, Alvin udah siap nih! Jadi berangkat kan?” tanyaku dengan semangat. “iya jadi, sekarang kamu hidupin mesin mobil dulu nih, ayah mau pakai sepatu dulu.” Pintanya.

Mesin mobil pun ku nyalakan, lagi-lagi perasaan ragu dan tak enak hati kembali menyelimuti hatiku, tapi aku tak mungkin membatalkan kepergianku ke Bogor karena aku tak mau mengecewakan ayah dan nenekku yang sudah jauh-jauh datang. Setelah pamitan pada ibu, kami berdua pun segera pergi untuk melewati perjalanan jauh antara Surabaya-Bogor yang jaraknya tak dekat. Dalam perjalanan itu, sambil menyetir mobil aku berbincang-bincang dengan ayah tentang prestasi kuliahku yang makin hari makin meningkat, terlihat dari wajah ayahku yang merasa bangga terhadap prestasiku selama ini. “ayah yakin Vin, kamu bisa lulus kuliah dengan cepat dan bisa langsung bantu ayah bekerja di perusahaan keluarga kita, bener ga?” Tanya ayah. “iya, doakan Alvin sukses ya yah.” pintaku dengan tulus. “oh iya dong, ayah selalu mendokan kamu dan adikmu, oh iya gimana hubungan kamu dengan Yoga? Baik-baik saja kan? Ayah berharap meskipun kamu pacaran, jangan sampai menomorduakan kuliah ya.” Ucapnya dengan bijak. “Alvin dan Yoga baik-baik aja ko.” kataku singkat. Tiba-tiba pikiranku berpusat pada Yoga, lelaki yang sudah 3 tahun menjadi pacarku itu, sudah 1 minggu aku tidak bertemu dengannya setelah terjadi pertengkaran waktu itu. Batinku bertarung antara mempertahankan ego atau mengalah untuk kembali berdamai, namun sifat keras kepalaku kembali muncul sehingga sampai saat ini kami masih belum damai. Tapi, setelah ayah menanyakan soal Yoga, hatiku menjadi tak enak seperti ada firasat buruk tentang dirinya, namun kucoba untuk tetap konsentrasi karena aku sedang mengendarai mobil. Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami sampai di Bogor dimana nenekku menginap. Disana aku dan ayah langsung beristirahat karena lelah hingga pagi harinya kami baru terbangun.

“wahh..pasti kamu dan ayahmu lelah sekali ya karena perjalanan yang jauh?” Tanya nenek. “iya nek, Alvin capek banget nih mana kemarin dijalan macet lagi.” kataku. “ya udah kamu istirahat dulu ntar nenek siapkan sarapan untuk kamu dan ayahmu.” paparnya.

Pagi itu udara di Bogor dingin sekali dan mungkin di kota itu selalu saja turun hujan. Saat aku sedang menikmati hangatnya teh manis buatan nenek, pikiran ku kembali pada Yoga yang berada jauh di Surabaya. Aku pun tak habis pikir kenapa sampai saat ini dia tidak menghubungiku, aku merasa dia pun memiliki perasaan egois yang tinggi namun aku tak bisa pungkiri bahwa sampai saat ini aku masih sayang dengannya, tak ada sedikitpun perasaan untuk pisah dengannya walau seringkali konflik berada di pihak kami berdua. “eh non, kok melamun sih? Ayo dimakan dulu roti bakar buatan nenek, ini roti bakar khas makassar lho dan kamu harus coba ya.” tegur nenek. “oh iya nek nanti Alvin makan kok rotinya tapi Alvin mau mandi dulu, ayah sudah bangun belum?” tanyaku. “ayah ada di teras samping tuh sedang baca Koran.” jelas nenek.

Setelah selesai mandi, tiba-tiba ponsel ku berbunyi dan ternyata Yoga yang menelfonku. “hallo, kamu dimana?” tanyanya. “aku masih di Bogor jemput nenek,kamu dimana?” aku balik bertanya. “aku dirumah lagi siap-siap mau pergi hiking bareng temen-temen, kira-kira kamu pulang kapan?aku mau membicarakan masalah kita yang kemarin.” jelasnya. “mungkin besok lusa aku baru balik ke Surabya.” Kataku singkat. “ya udah aku tunggu kamu di kampus ya.” pintanya.

Malam nya setelah lelah mengobrol dengan ayah dan nenek, aku pergi ke kamar untuk tidur karena mataku sudah lelah sekali. Karena kelelahan, tak lama pun aku langsung terlelap. Dalam tidurku, ku melihat Yoga dengan tas ranselnya pamitan padaku untuk pergi hiking ke gunung, dengan berat hati ku melepas kepergian Yoga. Namun tak lama setelah kepergiannya aku melihat dia mendatangi kamarku lewat jendela dan dengan wajah yang pucat, Yoga memberikan seikat edelweiss yang masih segar. Dia memberikan bunga itu dengan tatapan penuh kasih sayang, sebelum dia pergi tak biasaanya dia mengecup keningku dan mengucapkan kata-kata yang aku tak mengerti, Yoga mengatakan bahwa dia takkan kembali lagi selamanya. Saat ku ingin bertanya maksud ucapannya itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku dan di pipiku sudah banyak air mata yang mengalir, aku pun terkejut dengan mimpi yang baru saja aku alami. “ya Tuhan apa yang terjadi pada Yoga? Selamatkan dia Tuhan, kumohon.” doaku pada Tuhan. Pagi harinya, ayah mengajak ku kembali ke Surabaya, padahal rencana awal kami akan pulang esok harinya, namun ayah bersikukuh ingin pulang hari itu juga. “ vin, sebaiknya kita pulang hari ini saja lagian nenek sudah ingin cepat-cepat bertemu dengan ibumu.” jelas ayah. “iya deh kita pulang sekarang, tapi ayah saja ya yang bawa mobilnya.” pintaku pada ayah.

Kami bertiga pun kembali pulang ke Surabaya dan sesampainya disana, ibu langsung memelukku dan mengajakku kerumah Yoga tanpa memberitahu alasannya. Sesampainya disana, tubuhku lemas tak berdaya dan aku merasakan sesuatu membentur tubuhku hingga tak dirasa lagi tubuh ini sakitnya seperti apa setelah melihat Yoga terkulai diatas kasur kecil sambil ditutupi oleh kain batik dari wajah hingga kakinya. “Tuhan, kenapa secepat itu orang yang selama ini aku sayangi dan aku cintai harus pergi dariku untuk selamanya.” bisikku dalam hati.

Aku tak menyangka nyawa Yoga hilang akibat jatuh dari tebing, ternyata firasat burukku itu mengarah pada Yoga dan akupun tak habis pikir bahwa pembicaraanku ditelpon adalah pembicaraan terakhirku dengannya dan pertengkaran ku beberapa waktu lalu adalah pertemuan terakhirku serta edelweiss yang ia berikan pada ku dalam mimpi adalah peristiwa indah terakhir dengannya.

Kini, hari-hariku hanya diisi dengan lamunan yang tak berarti hingga akhirnya ku sadar bahwa waktu tak kan pernah bisa mengulang lagi kenangan dan saat terakhir ku dengan orang yang aku kasihi, kini hanya penyesalan mendalam karena aku tak bisa bertemu disaat-saat terakhirnya, mungkin ini jalan hidup yang diberikan Tuhan untukku, terimakasih Tuhan karena telah memberi kesempatan padaku untuk bertemu dan mengenalnya walaupun hanya sesaat saja.**

No comments:

Post a Comment

Apply ur commnet here..thanks